CERBUNG SUMMER: Menyusul Cinta Masa Lalu (PART 2)

01.31

https://pixabay.com/en/teddy-mouse-heart-love
Note!
Sebelum lanjut baca part 2, yang belum baca part 1 bisa langsung ke sini ya CERBUNG SUMMER: Menyusul Cinta Masa Lalu (Part 1).


           Tok.... Tok.... “Tita! Sudah rapih belum?” teriak Mamah dari balik pintu kamar.

“Ya Mah, sebentar,” jawabku.

“Baiklah, cepat ya, jangan sampai Om Narno menunggu lama kita,” lanjutnya.

Kusematkan hiasan pita kecil di rambutku. Kuperhatikan bayangan diriku di cermin dan berharap malam ini aku tampak sempurna. Dalam batinku, aku hanya tak ingin mengecewakan Mamah.

Sebelum keluar dari kamar, mataku langsung tertuju pada sebuah foto yang bertengger di atas meja rias. Kuambil dan kuperhatikan sosok gagah tampa cela di foto tersebut.

Sosok pria itu terlihat menggunakan topi baret cokelat. Badannya yang sedikit besar terbalut dengan kemeja corak kotak-kotak biru. Celana panjang yang sedikit kedombrongan berwarna coklat muda itu menutupi kakinya yang jenjang. Lengan bajunya tampak digulung hingga sikut memperlihatkan urat tangan. Tampak di tangan kirinya memegang kanvas sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah kuas.

Matanya terlihat fokus dengan objek di sekitarnya—tampak Menara Eiffel tepat berdiri kokoh di depannya. Bila dilihat dari langit yang menyelimutinya, sepertinya foto tersebut diambil saat musim panas.

“Pah, hari ini aku akan bertemu dengan calonnya Mamah, aku berharap Om Narno tidak seperti pacar Mamah yang terdahulu. Tenang Pah, aku tidak akan menggeser tempat Papah di hati aku.” Kulayangkan kecupan lembut ke foto tersebut dan bibirku mengenai permukaan kaca pada bingkai.

I love you, Pah.”

Aku pun bergegas menemui Mamah.
∆∆∆


Mobilmu berhenti di depan sebuah restoran yang tidak terlalu mewah. Eksteriornya terlihat klasik dan keren. Kau pun mengajakku ke dalam untuk menikmati secangkir cappuccino sembari mengobrol ringan sebelum mengantarku ke tujuan—rumah Tante.

Saat selangkah memasuki restoran tersebut, mataku langsung tertuju pada gambar hitam putih yang cukup besar di dinding dekat kasir. Gambar seorang wanita yang sangat terkenal di tahun 20’an— Merlyn Monroe dengan gaya khasnya.

Kau pun menyilahkanku untuk duduk dengan menarik salah satu kursi. Kau memilih meja tepat dekat jendela agar aku bisa menikmati suasana di luar yang hiruk pikuk dengan orang asing lalu lalang.

“Tunggu sebentar ya,” ucapmu. Lalu, kau pergi menuju kasir untuk memesan dua cangkir cappuccino—tampa bertanya terlebih dahulu padaku.

Berapa menit kemudian, kau pun muncul dengan dua cangkir cappuccino di tanganmu.

“Ini untukmu, secangkir cappuccino dengan foam tebal dan choco granule yang banyak di atasnya.” Sambil meletakan minuman itu di depanku.

Aku tekejut saat kulihat choco granule di atas foam-ku membentuk hati dengan inisial nama kita. Itu terlihat receh, tapi sangat manis. Aku tak ingin membohongi hatiku saat ini, aku sangat terpesona dengan perlakuan spesial darimu. Hatiku semakin melayang.

“Bagaimana kau tahu kalau aku menyukai cappuccino dengan foam tebal? Apa kau benar-benar masih mengingatnya?” tanyaku sembari menyernyitkan alisku, bertanda tak yakin.

Kaududuk di depanku sambil tersenyum, “Aku tidak mungkin melupakan kesukaanmu, apalagi saat kejadian itu, tidak mungkin aku melupakannya!” Jawabmu sembari tersenyum, seperti mengenang sesuatu yang lucu. Aku pun tersipu malu saat mengingat kenangan itu kembali.

Lalu kau mengusap kepalaku sambil terkekeh. Aku pun langsung menutup wajahku yang memerah dengan cangkir yang kugenggam.

Awal mula kami bertemu di salah satu mal terkenal di daerah Depok. Tepatnya pada hari Minggu tiga tahun lalu.

Saat itu aku sedang menunggu seorang teman di Starbuy—tempat nongkrong anak gaul Depok. Kafe ini meyediakan makanan dan minuman serba kopi.

Masih ingat di ingatanku, aku duduk di bangku nomor 12. Pojok dekat jendela kafe, jauh dari hiruk pikuk para perokok. Lalu, tiba-tiba kau datang menghampiri mejaku.

Kau datang di waktu yang tidak tepat. Di mana ada foam tebal menempel di bibirku.  Tak dapat kubayangkan wajahku saat itu, pasti sangat aneh.

Seorang gadis dengan dandanan biasa—mengenakan baju kaos bertuliskan Single, but Happy dengan celana jeans tiga seperempat dan sepatu sport sebagai alas kaki—duduk sendirian di pojok kafe dengan foam di bibirnya. OMG! Bodohnya!

Dapatkah kalian bayangkan aku pada saat itu? Sumpah, sangat aneh! Sebaiknya kalian tak usah melihatku, tidak kusarankan untuk melihatku.

“Hai, ganggu gak?” sapamu sembari tersenyum.

Ku terdiam dan menyernyitkan dahi tanda tak yakin kalau kau tak tertawa dalam hati. Lalu cepat-cepat kuletakkan cangkir dan kuseka bibirku dengan tisu.

“Mm.... Tidak. Tidak kok. Silahkan!” ku persilahkan kau duduk di depanku.

 Kau terlihat tersenyum dan seketika hatiku meleleh melihat senyumanmu.

Apakah ini yang dinamakan falling in love? batinku. Lalu tiba-tiba muncul lagu Falling In Love dari 2NE1—salah satu girlsband Korea Selatan—yang terus berdendang di pikiranku.

“Ada apa ya, Ka?” Tanyaku.  “Kamu adik kelas aku ya? Ava Shakina Tita, kan?” Kau balik bertanya.

“Iya, kok tahu namaku?” tanyaku balik.

Kau tertawa, “Tahulah, kan aku ketua Osis dan aku menyimpan semua data murid di sekolah kita,” jawabnya dengan mudah.

Gabruk.... Rasanya seperti jatuh dari gedung berlantai 10. Bodohnya aku berharap kalau kau sengaja mencari tahu semua tentangku. Ternyata kau mengenalku karena memiliki data semua murid. Bodoh! Batinku.

Aku terdiam.

“Sepertinya kau sangat suka capuccino dengan foam tebal di atasnya?” tebakmu dan aku mengangguk.

“Kelihatannya sangat enak, apalagi jika sampai ada foam di bibir, ya kan?” tanyamu sembari tersenyum dan aku mengangguk kembali sembari menunduk tersipu malu.

Tiba-tiba kau meninggalkan kursi dan beberapa menit kemudian kau kembali dengan secangkir cappucino di tanganmu. Liatlah! Foam di atas cangkirnya sangat banyak.

“Aku akan mencoba menirumu,” kau meminumnya.

“Wah seru ya? Ternyata cara meminum seperti ini membuat cappucino terasa lebih nikmat,” lanjutmu.

Astaga! kau benar-benar meniruku. Aku tertawa melihat kelakuanmu.

Karena kejadian tersebut, membuatku semakin falling in love denganmu, sang Kakak Osis yang ramah. 
∆∆∆


Aku duduk di depan Mamah dan Om Narno yang sedang membahas sesuatu. Mereka terlihat sangat serasi saat disandingkan berdua.

Astaga mengapa aku baru menyadarinya!

Mamah sudah terlalu lama ditinggal Papah dan selama ini Mamah membesarkanku seorang diri. Maka, sudah waktunya ia menghapus masa lajangnya. Toh, Om Narno selalu baik sama Mamah dan aku, batinku.

Om Narno adalah teman Mamah dan Papah saat mereka bertiga masih bersekolah menengah atas di salah satu SMA papan atas di Jakarta. Mereka bertiga merupakan sahabat karib yang tak dapat dipisahkan. Bisa dibilang soulmate banget.

Om Narno lebih dahulu ditinggal oleh istrinya. Istrinya meninggal akibat komplikasi. Ya pastinya lebih dulu memiliki predikat duda atau bisa dipanggil duren—duda keren.

Makanan pun datang dan aku tetap memperhatikan Om Narno yang masih asyik berbincang dengan mamah. Om Narno mungkin menyadari kalau aku sedang memperhatikannya, ia pun melirikku sembil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.

“Makan, makan, jangan dilihatin saja, makanannya tidak akan habis jika dilihat saja,” Om Narno memulai pembicaraan.

Deg! Rasa-rasanya kalimat itu sudah tak asing lagi di telingaku. Kalimat yang sering diucapkan Papah ketika makan bersama.

“Ya Tuhan, apakah itu merupakan tanda dari-Mu jika Om Narno adalah orang yang tepat bagi keluarga kami?” Tanyaku dalam hati.

Tidak hanya itu saja persamaan yang terjadi, dari sikap, kata-kata yang keluar dari mulutnya, hingga perhatiannya kepada kami. Hampir semua dari Papah ada di dalam Om Narno.

Misalnya saja pada saat ada pentas seni di sekolahku. Om Narno menyempatkan diri datang untuk melihat penampilan tariku.

Ia datang tepat waktu sebelum acara dimulai dan mengambil tempat duduk paling depan untuk melihatku lebih jelas.

Saat giliran grupku tampil di panggung. Aku sangat terkejut melihat Om Narno duduk paling depan sambil melambaikan tangan ke arahku.

Tak hanya itu, ia merekam setiap gerakanku menggunakan kamera SLR-nya. Hal itu persis seperti yang dilakukan Papah kepadaku ketika aku baru pertama kali tampil di pentas seni sekolah dasarku.
∆∆∆


Setelah menikmati cappuccino, kau pun mengantarkanku ke Bathurst St untuk menemaniku menemui tante di sana.

Meskipun ada di satu kota yang sama, tetapi kami harus terpisah.

Aku dan kau tidak tinggal satu blok yang sama maupun bertetangga karena kau tinggal di hunian yang sudah disediakan pihak kampus, di daerah College St.

Mobilmu melaju kencang di jalan Spadina Rd. Lalu, tiba-tiba seorang wanita—percampuran Kanada dan Indonesia—memberhentikan laju mobilmu dengan berdiri di depan mobil.

Wanita itu terlihat sangat cantik. Ia mengenakan baju berlengan pendek berwarna merah dengan syal lembut di lehernya. Kakinya yang jenjang dibalut dengan jeans biru dan sepatu hak tinggi hitam menambah anggunnya ia. Rambutnya terurai panjang dengan sedikit ikal di bawahnya. Jika dibandingkan dengan gaya berpakaian diriku yang biasa, pastinya sangat berbeda.

Akan tetapi, meskipun ia cantik, aku sangat tidak menyukainya. Terlebih lagi dengan sikapnya yang norak memberhentikan mobil sesukanya.

Wanita itu melihatku sinis dan memulai memanggil kau sambil berteriak-teriak. ”Aarju! Come here!” teriak wanita itu. Terlihat tangannya terlipat, tanda menunggu. Lalu, kau pun keluar dari mobil dan menarik wanita itu menjauh dari mobil.

Terlihat dari balik kaca jendela mobil yang tak terlalu gelap, kau sedang menjelaskan sesuatu kepadanya dan ia seperti memarahimu sembari menunjukku dan melihat ke arahku dengan sinis.

Aku pun memasang earphone di kedua telingaku dan mencoba tak peduli dengan adegan di luar sana. Aku malas untuk melihat mereka berdua yang sedang mengobrolkan sesuatu yang ku tak ketahui. Aku mencoba memejamkan mata dan larut dengan lirik lagu yang terdendang keras memekik telingaku.

Beberapa menit kemudian, kau kembali ke mobil sembari menarik napas. Aku langsung mematikan lagu dan melepaskan earphone-ku.

Aku berpikir pasti masalah itu adalah masalah yang sulit bagi kak Aarju, maka dari itu aku pun tak berani angkat bicara mengenai wanita itu.

Hingga akhirnya, setelah mobil berjalan beberapa meter menjauh dari tempat wanita itu memberhentikan kami, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

“Wanita itu siapa, Kak?” tanyaku hati-hati. Kau menjawab dengan sedikit terbata-bata dan terlihat bingung.

“Itu.... Itu teman aku. Tepatnya teman sekelasku, sama-sama anak dari jurusan seni,” jawabmu.

“Mengapa ia melihatku sinis? Memangnya apa salahku?” Tanyaku kembali.

“Perasaanmu saja, mungkin iri dengan wajah manis dan talentamu,” jawabmu mengasal sambil tertawa.

“Ooh,” balasku singkat.


Pandanganku langsung lurus ke depan tampa ingin bertanya kembali dan kau terlihat salah tingkah.


Bersambung~
(ASN)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like me on Facebook

Nisud: